NARA SENJA

Oleh : Nila Afifah

 

Sebagai sulung, Nara adalah anak yang patut dicontoh oleh adiknya. Bagaimana tidak? Diusianya yang 21 tahun ia harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Masa remaja yang biasanya dihabiskan orang-orang untuk bersenang-senang nyatanya berbanding terbalik untuk Nara.

Semenjak lima tahun lalu setelah kepergian orang tuanya, ia tak lagi bahagia. Orang tua yang amat dikasihinya menjadi salah satu dari banyaknya korban yang meninggal pada hari itu. Masih tersimpan hangat dimemorinya bagaimana kacaunya hari itu. Riuhnya mobil pemadam kebakaran yang berulang kali mengisi tangki air, mobil polisi dan ambulan berlalu lalang mengangkut korban. Sebagian dari mereka selamat meski dengan luka berat dan sebagian lainnya harus rela kehilangan nyawa, termasuk ayah ibu Nara.

Nara yang masih sangat belia waktu itu, menangis sejadi-jadinya. Ia juga menggandeng sang adik Senja yang baru saja merayakan ulang tahun ke sembilan. Baru tadi malam, ia bersama adik dan orang tuanya berbahagia menghabiskan malam dengan saling bercengkrama merajut cita akan jadi seperti apa ia dan adiknya ketika dewasa. Namun sayang, cita itu kini hanya cerita.

Pagi ini seperti biasa, Senja yang dibonceng kakaknya Nara berangkat sekolah. Tak banyak cengkrama memang selama di jalan. Berbanding, lain di jalan lain pula dalam pikiran, semenjak malam tadi pikiran Nara disibukkan dengan luapan pertanyaan “Darimana ia akan mendapat uang?, sedang semua kebutuhan datang bersamaan”.

Malam tadi, Senja sehabis Nara pulang kerja menyodorkan seongok surat dari sekolahnya. “Surat apa ini Dek?,” Kata Nara. “Surat Pemberitahuan Mbak,” Jawab Senja. Nara yang tak kembali bertanya langsung membuka surat itu lantas membacanya, “Oh..., akan ada study tour toh di sekolahmu?”, tanya Nara kemudian,

“Iya mbak, ini aku disuruh pilih destinasi tujuannya mau ikut sik ke Bali, Jakarta apa Bandung, tapi mbak...,” jelas Senja menggantung, “Tapi opo?,” tanya Nara, “Tapi bayarnya lumayan mahal ee mbak, sekitar Rp. 1.500.000,- estimasinya”, dengan sedikit tersenyum Nara menjawab, “Ooalah iya wis, nanti mbak tak ngumpulin uang dulu ya? Bismillah, Insyaallah nanti bisa terbayar,” “Wis sekarang kamu tidur dulu, besok lak masuk sekolah ta?”. Tanpa diperintah ulang Senja lantas melenggang ke kamarnya. Sedangkan Nara masih duduk termangu ditempatnya.

Sekitar lima belas menit kemudian, keduanya tiba di depan gerbang sekolah SMP N 9 Salatiga, yang sudah hampir dua tahun ini menjadi tempat Senja menggali ilmu. Senja lantas turun dari motor dan berpamitan pada kakaknya. Sedang Nara, kemudian memutar motor menuju kampus sebelum akhirnya siang nanti ia harus bekerja di kafe “Bukit” hingga hampir tengah malam.

Begitulah keseharian Nara yang harus ia habiskan dengan belajar dan bekerja. Sebagai seorang mahasiswa, tugas yang menumpuk tentu menjadi sahabat belum lagi laporan-laporan yang juga antri untuk diselesaikan. Biasanya Nara menyelesaikan tugasnya disela-sela jam istirahat. Ia bisa menjadi sosok yang sangat fokus dalam belajar, namun lain dengan hari ini surat yang diberikan Senja malam tadi agaknya masih menjadi fokus utama dalam pikiran Nara.

Jam kini menunjukkan pukul 23.30 WIB, kafe “Bukit” pun sudah beberes untuk tutup, begitu pula dengan Nara, gadis ini sudah bersiap untuk kembali ke rumah yang jaraknya sekitar 30 menit dari kafe. Setelah berpamitan dengan beberapa rekan, ia kemudian menyalakan motornya dan melaju memecah dinginnya malam kota kecil ini. Salatiga memang memiliki udara yang cukup dingin pada malam hari, karena letaknya yang masih berada dikaki gunung merbabu.

Sesampainya di rumah ia lantas membersihkan diri dan pergi tidur, ia sedikit ingin mendiamkan pikirannya yang memang sehari penuh terlalu gemuruh. Ia inging memejamkan mata sebelum nanti sekitar pukul setengah tiga ia harus kembali terjaga untuk menunaikan dua rakaat tahajud. Bagi Nara sendiri, tahajud adalah hal yang penting. Meski dadanya sesak dihimpit kebutuhan yang tak jarang datang bersamaan pun mendadak, ia selalu mengadukan semua masalah yang dihadapi kepada Allah. Setelah ia adukan masalahnya pasti ada cara Allah untuk menyelesaikannya dengan cara yang tak terduga sekalipun oleh Nara.

Seperti malam ini, ia mengadukan masalah yang tengah dihadapinya. Ia harus membayarkan biaya study tour sang adik Nara dan disisi lain ia juga harus membayar UKT kuliahnya sedang tabungan yang ia miliki tak cukup untuk mengcover semua kebutuhan itu. Tetapi hati Nara sangat yakin Allah akan senantiasa membantunya, Allah tak akan mencoba suatu hamba melainkan hamba tersebut mampu menghadapinya. Benar saja, buah dari do’a-do’a Nara selama ini pun memuai.

Minggu siang itu, Nara dan Senja yang tengah duduk diruang tamu. Pintu depan terdengar ada yang mengetuknya, tanpa menunggu lama Senja langsung membukakan pintu. Dengan sedikit terkejut Senja lantas menyalimi tangan si tamu “Assalamualaikum, Pakd,” “Assalamualaikum Bude,” sapa Senja bergantian. Ya, tamu tersebut adalah kakak dari almarhumah ibunya yang sudah lama tinggal di Jakarta. Pakdenya adalah seorang anggota TNI yang memang ditugaskan di DKI Jakarta. Sudah sejak lama Nara dan Senja bertemu mereka, terakhir kali adalah selang setahun setelah kepergian orang tuanya.

Nara yang mendengar sapaan Senja dari luarpun ikut menyusul ke depan. Sama dengan Senja, Nara tak kalah terkejut melihat Pakde dan Budenya yang tengah berdiri di depan pintu, ia kemudian lantas menyalami beliau berdua secara bergantian. “MasyaAllah, sudah gede-gede ponakanku ini,” Kata Bude dengan nada Salatiganya yang khas. Budepun memeluk Nara, Senja secara bergantian begitu pula dengan Pakde. “Iyo Buk, wis gede tenan ponakanku saiki duwure wis nyaingi aku, eallah,” Kata Pakde yang tak mau kalah melontarkan logat Salatiganya.

“Pie Nduk, lak yo kabare apik to? Lak sehat to?,”

“Pie sekolahe?, saiki Senja wis kelas piro?”,

“Nik Nara wis semester piro?,” tanya Pakde beruntun.

“Loo, lak kebiasaan to Bapak ki, tanya ki mbok ya satu per satu,” protes Bude. Pakde yang merasa diprotes hanya menyengir kecil. “Mangkih Nara jawab Pakde, mangga masuk rumiyen. Pakde Bude mesti capek,” jawab Nara sambil mempersilakan Pakde Budenya masuk ke dalam rumah.

          Sesampainya di dalam, Senja tanpa menunggu aba-aba langsung melenggang menuju dapur untuk membuatkan minum. Sedangkan Nara turut duduk untuk menemani beliau berdua. “Pie, Nduk?”, tanya pakde yang menuntut jawaban dari pertanyaanya tadi. “Oh nggih Pakde, Alhamdulillah kita berdua sehat, sekolahnya lancar. Sakniki Senja kelas 8 SMP, Nara semester 7,” jelas Nara. “Alhamduillah,” jawab Pakde Bude secara bersamaan. Tidak lama kemudian Senja pun ikut bergabung dengan percakapan hangat itu dengan membawa minuman dan beberapa makanan ringan.

          Pakde dan Bude kali ini berkunjung untuk sekedar melepas rindu dengan para keponakannya. Selain itu Pakde yang memang seorang Komandan TNI, juga berniat untuk membantu Nara membiayai sekolah Senja dan kuliah Nara. Pakde merasa tersentuh ketika mendengar bahwa ponakan sulungnya ini harus bekerja keras membanting tulang untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Memang benar mereka berdua termasuk pelajar pandai, Nara sejak duduk dibangku SMP, selalu mendapat tiga besar paralel di sekolahnya, hal itu tentu saja menjadikan Nara sebagai salah satu siswa yang menerima beasiswa hal itu terus berulang hingga ia masuk kuliah. Di bangku kuliah ia juga menjadi salah satu dari beberapa mahasiswa berprestasi yang menerima beasiswa bidikmisi.

          Senja yang merupakan anak bungsu-pun tak kalah pandai dengan Nara kakaknya. Di SMP nya ia adalah salah satu siswa berprestasi yang menerima beasiswa dari sekolah. Dengan begitu setidaknya ia meringankan beban kakaknya untuk membiayainya sekolah, Nara cukup mengeluarkan uang hanya untuk kebutuhan-kebutuhan extra bagi Senja, seperti study tour misalnya.

Namun, siapa yang menyangka kini beban Nara dan Senja akan semakin ringan karena Pakdenya yang sangat penyayang itu kini akan menggantikan peran Nara untuk memenuhi kebutuhan Senja. Meskipun begitu Nara tak lantas berhenti bekerja begitu saja, ia tetap menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswa dan pekerja part time di kafe “Bukit”. Ia ingin tetap memiliki tabungan yang mungkin nantinya dibutuhkan untuk menutupi keperluan mendadak lainnya.

          Sungguh Allah adalah Dzat yang paling sempurna, pikir Nara. Tanpa Nara sangka Allah mendatangkan seorang Pakde yang baik kepadanya, yang bahkan tanpa ia bayangkan sebelumnya tiba-tiba ia berniat membiayai kehidupan Nara dan Senja. Memang benar adanya bahwa pertolongan Allah sangat nyata asal seorang hamba mau berdo’a dan meminta kepada-Nya.

         

 

Comments

Popular Posts